INOVASI DAN KEWIRAUSAHAAN KONTEKSTUAL
“Sekitar 23 orang pengrajin anyaman, batik, bordir, kelom, dan pisau di Tasikmalaya Jawa Barat berkumpul dan merespons terhadap pertanyaan yang secara bergiliran disampaikan oleh peneliti. Acara mulai pagi sampai jelang sore, saat matahari menyembunyikan dirinya di balik kemegahan langit Tasik. Sambutan gapura sentra pengrajin mengawali perbincangan kami yang berlangsung dalam suasana relaks sekaligus serius. Sentra kerajinan bordir yang dilihat sebagian pihak tengah mengalami sunset, kelihatan aktif mengembangkan dirinya. Begitu pula dengan pengrajin anyaman, kelom, batik, dan pisau. Semangat mereka membludak di tengah kerinduan perbaikan suasana dan dukungan usaha.
Yang mereka sampaikan sebagai tantangan menyebut SDM dan (kaitannya dengan) produksi serta kelangsungan hidup organisasi usaha mereka. Beberapa pengusaha mempertanyakan dan bertanya-tanya tentang keberlangsungan tersedianya bahan baku produksi, dan menyampaikan betapa besar kebutuhan akan regulasi yang kondusif untuk usaha. Saat tantangan usaha di depan mata, saat yang sama mereka kebanjiran pesanan. Upaya pemasaran yang lebih canggih dan intensif (misalnya via Internet, Facebook, Iklan) mereka lakukan dengan hati-hati dan realistis, menghindari over promise, under deliver. Mereka merindukan kerja sama berbagai pihak terkait, khususnya lingkaran Akademisi – Bisnis – Pemerintah dan Komunitas dalam menghadapi tantangan usaha. Bayangkan apa jadinya industri kerajinan anyaman saat bahan baku mendong semakin menipis dan semakin pendek kondisinya.”
Kerja sama Pemerintah, Bisnis, Akademisi, dan Komunitas itu sendiri adalah mendesak dan penting. Bagaimana caranya?
Kepemimpinan, budaya, pasar modal, dan pelanggan yang terbuka membentuk ekosistem kewirausahaan. Begitulah simpulan riset Babson College “Babson Entrepreneurship Ecosystem Project.” Elemen?elemen tersebut memberi energi besar untuk penciptaan ventura baru dan pertumbuhan ekonomi. Peran pemerintah krusial dalam pembangunan kewirausahaan di negaranya. Empat faktor besar di atas harus dikombinasikan dalam sistem yang holistik dan pemerintah menerapkan sembilan prinsip kunci berikut ini. Penulis menyusun paparan ini berbasis laporan riset Daniel J Isenberg dalam Harvard Business Review (June 2010: 41?50).
1. Berhentilah meniru Silicon Valley. Apple, Google, Oracle, Intel, dan eBay lahir di sana. Begitu pula perusahaan lain bisa lahir dari valley?valley lain di belahan bumi lain. Kuncinya? Membangun ekosistem inovasi di wilayah?wilayah tertentu di suatu negara. Ekosistem ini ada di sekitar sumber daya fisik dan nonfisik dalam suatu wilayah. Negara bekerja sama dengan sektor swasta harus menciptakan ekosistem ini dengan sengaja dan berdesain sistemik organik dan memperhitungkan empat elemen utama: kepemimpinan inovatif, budaya inovatif, pasar modal yang kondusif, dan pelanggan yang terbuka (termasuk keterbukaan mereka dalam melibatkan dan dilibatkan pada dalam proses inovasi).
Stimulator inovasi harus ada. Sekali ini ada, di mana pun, kapan pun, prasyarat yang penting untuk inovasi ada. Lama?kelamaan iklim inovasi dan kewirausahaan inovatif terbangun dari diamnya yang lama karena miskin stimulator. Mihaly Csikzentmihalyi, dalam karya seminalnya berjudul Creativity, menyebut tujuh faktor penentu kontribusi kreatif individu: training, ekspektasi, sumber daya, pengakuan, harapan, peluang, dan imbal jasa. Saya menyebut ini sebagai ekosistem individu kreatif yang erat kaitannya dengan kewirausahaan inovatif. Besarnya sumber daya inovasi dan kewirausahaan di Silicon Valley tentu tidak terjadi begitu saja. Ia merupakan hasil berbagai benturan budaya, kegagalan dan keberhasilan, trial and error. Melihat kemungkinan membangun ekosistem inovasi dari nol dan berproses sesuai konteks sosial, ekonomi, wilayah (lokalitas) penting dalam rangka membangun valley?valley lain di suatu negara dengan karakteristik sangat berbeda dari Silicon Valley.
2. Ekosistem kewirausahaan inovatif harus sesuai dengan kondisi lokal (kontekstual). Ini sering diabaikan karena pengelola organisasi cenderung melihat best practices. Kecenderungan ini menyulitkan dan mendemotivasi. Pandangan menjadi minus karena kita langsung melihat hasil tanpa memahami mengapa dan bagaimana proses mencapainya.
Jika Anda perhatikan proses inovasi organisasi perusahaan inovatif berbagai ukuran, Anda akan melihat kemampuan mereka memperhitungkan konteks lokal, termasuk pendapat calon pelanggan/konsumen/pengguna dan para pemangku kepentingan lainnya; termasuk kemampuan mereka dalam menentukan “kapan” pendapat atau selera konsumen disampingkan dahulu (untuk sementara).
3. Pemerintah harus memperhitungkan faktor?faktor lokal seperti budaya lokal, iklim, dan selera lokal. Organisasi perusahaan memakai pendekatan antropologi dan etnografi untuk memahami kondisi dan konteks lokal. Mereka menginternasiliasikannya antara lain dalam produk, barang atau jasa, proses produksi, dan cara berkomunikasi. Jika Anda mendalami dan/atau memperhatikan pendekatan design thinking, Anda melihat pendekatan ini sebagai cara memahami kondisi pelanggan/pengguna dalam lokalitasnya, dalam konteksnya yang beragam.
Panggilan bagi Indonesia: memusatkan perhatian pembangunan kewirausahaan strategis (berinovasi) pada konteks lokal, kondisi lokal dan potensi lokal.
Indonesia harus meningkatkan keberdayaan masyarakat lokal berkelanjutan untuk berwirausaha sesuai konteks lingkungannya. Bangun ekosistem yang kondusif! Ini sebetulnya bukan hal baru. Kesenjangannya adalah pada saat kita (sepertinya) terpuruk, saat yang sama pula kita kelimpahan sumber daya (aktual dan potensial). Mengapa kita terlena dalam keterpurukan sekaligus keberlimpahan sumber daya?
Kewirausahaan strategis tetap berprinsip pada eksplorasi peluang dan eksploitasi peluang berbasis sumber daya yang bernilai, langka, sulit ditiru, sulit ditemukan penggantinya, dan dapat dieksploitasi.
4. Libatkan sektor swasta merupakan prinsip keberhasilan revolusi entrepreneurial. Pemerintah sendirian dengan top?down approach tidak dapat membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan. Pemerintah harus melibatkan sektor swasta yang secara genetik merupakan sektor yang punya motivasi dan pandangan untuk berdikari dan yang dipicu oleh keuntungan pasar.
Membangun sistem inovasi nasional harus melibatkan sektor swasta. Pelibatan ini sejak awal, mulai dari persiapan formulasi atau formasi strategi sistem (ekosistem) inovasi nasional, implementasi, pengendalian dan/atau perubahannya. Tidak cukup pemerintah sendirian yang memimpin pembentukan ekosistem inovasi nasional. Libatkan sektor swasta dalam proses inovasi nasional sedini mungkin.
Mari berkaca dari praktik overlapping new product development, bagaimana bisnis melibatkan R&D, Produksi dan fungsi?fungsi lain sejak awal proses penggalian ide/peluang inovatif. Mari berkaca dari pendekatan design thinking, bagaimana proses penciptaan produk apapun (termasuk produk sistem inovasi) melibatkan calon pelanggan sejak sangat awal proses inovasi dan prosesnya bolak-balik tanpa henti sampai prototipe produk final jadi, siap pakai atau siap terap. Arogansi birokrasi pemerintahan sering menyebabkan tingkat keterlibatan pemangku kepentingan sangat minim atau bahkan tidak ada.
5. Pembangunan ekosistem kewirausahaan inovatif mendukung wirausaha?wirausaha yang berpotensi besar. Dan jika sumber daya terbatas adanya, program yang mendukung lahirnya bisnis?bisnis baru harus memprioritaskan para pemilik potensi tinggi. Kita dapat mengaitkannya dengan paradigma pembangunan kewirausahaan berbasis discovery dan creation. Kriteria kelayakan business plan tidak cukup untuk menilai tinggi rendahnya potensi kewirausahaan inovatif. Para pengambil keputusan pendanaan/pemodalan ventura baru harus berdasarkan tinggi rendahnya potensi keberhasilan penciptaan nilai sosial dan ekonomi. Ini sama halnya dengan membedakan sustaining innovation dari disruptive innovation (The Innovator’s Dilemma, CM Christensen 2006).
6. Pemenang walau jumlahnya sedikit dapat menyulut inspirasi dan keberhasilan ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang kondusif. Sukses?sukses awal kewirausahaan akan mengurangi persepsi bahwa berwirausaha itu sulit dan penuh risiko. Dukungan pemerintah dan media harus besar untuk mengangkat kesuksesan?kesuksesan wirausaha. Kampanye keberhasilan harus luas. Lomba inovasi dan kewirausahaan menjamur. Umumkan pemenangnya di mana?mana untuk membangun suasana dan persepsi kondusif.
Situasi itu dapat mengubah lingkungan yang tadinya kaku tanpa penghargaan menjadi kondusif mengapresiasi aktivitas berwirausaha. Peran media tidak hanya dalam mengumumkan pemenang tetapi juga dalam mengubah perilaku. Contoh: Harian dengan oplah terbesar di Puerto Rico, El Nuevo Dia, mendukung kewirausahaan lokal dengan menerbitkan setiap minggu kisah sukses bisnis?bisnis baru. Di pulau kecil, cerita?cerita itu menjadi bagian dari dialog sosial harian dan meningkatkan kesadaran adanya peluang berwirausaha dan keberadaan instrumen untuk mengeksploitasi peluang tersebut.
7. Perlu cara pendanaan yang ketat. Keliru jika pemerintah atau pihak manapun membanjiri wirausaha?wirausaha potensial dengan uang berlimpah yang mudah diperoleh. Wirausaha dini harus dipaparkan dengan tantangan pasar. Aturan pendanaan yang ketat dapat diterapkan untuk mengeliminasi oportunis yang memanfaatkan dana dengan mudah. Ekosistem inovasi dan kewirausahaan harus dibangun dalam situasi kelangkaan untuk melatih kekuatan, efektivitas, dan daya tahan pengelolaan usaha. Ketergantungan pada dana pihak ketiga dan pemanfaatan peluang memenangkan piala wirausaha berprestasi tanpa latihan daya tahan pasar akan melemahkan ekosistem kewirausahaan mandiri yang inovatif.
Pemerintah Indonesia perlu meninjau pola pendanaan dan pendampingan para wirausaha baru agar tidak melenakan mereka dari segala pasang surut perjuangan usaha dan tidak mengabaikan mereka yang sangat potensial berdaya juang tinggi namun kurang modal dan pendampingan manajemen inovasi dan kewirausahaan.
8. Jangan merekayasa kluster secara berlebihan. Biarkan kluster tumbuh secara organik. Michael Porter mempopulerkan strategi kluster. Strategi kluster telah dipromosikan oleh banyak pemerintahan dalam rangka meningkatkan kewirausahaan dan daya saing ekonomi.
Pemerintah harus mendukung perkembangan kluster yang ada dan yang muncul secara organik alih?alih membangun yang baru (mulai dari nol).
Kluster secara organik terbentuk karena lingkungan yang ada mendukung secara sosial dan fisik. Pembentukan kluster secara sepihak tanpa memperhatikan isi dan konteks lokal atau wilayah setempat akan menghasilkan hampa bahkan kerugian.
Pemerintah harus kurang birokratis dalam menentukan perkembangan arah kluster. Pemerintah sebaiknya melihat arah kecenderungan (potensi) kewirausahaan wilayah?wilayah tertentu di negara. Dan berbasis pemetaan itu, pemerintah membantu mengoptimalkan kerja sama berbagai pihak dalam membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang kondusif yang dicerminkan oleh dukungan kepemimpinan, budaya, pasar modal, dan masyarakat yang terbuka.
9. Lakukan reformasi hukum, birokrasi, dan rerangka regulasi. Kunci kesembilan ini menjadi puncak pembangunan ekosistem inovasi dan kewirausahaan negara. Lihat indeks inovasi global Indonesia (INSEAD, 2009-2011), yang berturut-turut mengalami penurunan indeks dari rangking 49 pada tahun 2009, menjadi 72 pada 2010, dan 99 pada 2011.
Peter Drucker (1985) menulis dan mengingatkan pentingnya inovasi sosial untuk membangun sosietas entrepreneurial. Pertama penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi prioritas. Peraturan dan reformasinya mendukung aktivitas entrepreneurial yang menciptakan lapangan pekerjaan sebesar mungkin sehingga sumber daya (yaitu daya beli) terus?menerus tercipta. Kedua, pemerintah berani mengorganisir penghapusan atau bahkan menghapus kebijakan dan peraturan yang sudah tidak relevan dan tidak menunjang era inovasi dan kewirausahaan. Anggota dewan legislatif memiliki pekerjaan besar dan misioner untuk mengevaluasi peraturan dan undang?undang, berhasil memilah yang sudah tidak layak pakai dari yang layak pakai dan yang membuat yang baru untuk membangun sosietas entrepreneurial.
Biasanya reformasi hukum dan birokrasi membutuhkan waktu panjang sementara aktivitas kewirausahaan terjadi sebelum hukum dan birokrasi betul?betul diperbarui. Ini menunjukkan, pada situasi ketat aturan dan hukum yang tidak kondusif, banyak wirausaha lahir. Situasi banyaknya kewirausahaan yang lahir ini makin mendorong meningkatnya kebutuhan reformasi hukum dan birokrasi! Reformasi hukum dan birokrasi tidak efektif tanpa pendekatan lunak yang pemerintah dapat lakukan lebih cepat seperti menghilangkan hambatan budaya, mengedukasi wirausaha dan mempromosikan kisah?kisah sukses mereka.
Pemerintah bisa mengubah kekakuan menjadi keluwesan dengan mempermudah prosedur pemutusan hubungan kerja bagi mereka yang mau membuka usaha sendiri dan menciptakan serta menderegulasi pasar modal untuk kepentingan entrepreneurial. Hapus rezim pajak yang tidak efektif yang menghambat perkembangan kewirausahaan inovatif. Jangan sampai rezim pajak yang ada menjadi batu sandungan perbesaran kewirausahaan inovatif. Di Puerto Rico, seperti disampaikan Daniel Isenberg (2010), rejim pajak yang tidak efektif malah mendorong banyak wirausaha untuk tetap kecil sehingga mereka bisa tetap mempertahankan banyak pengeluaran pribadi mereka sebagai investasi bisnis.
Pengembangan ekosistem inovasi dan kewirausahaan memerlukan kerja sama kolaboratif sektor pemerintah, swasta, akademisi, dan nirlaba. Pemerintah harus menggeser paradigma pembangunan inovasi dan kewirausahaan dan belajar dari sembilan kunci. Libatkan sektor swasta, ubah norma budaya, hilangkan hambatan regulasi, dorong dan rayakan keberhasilan sekecil apapun, buat peraturan yang kondusif, pahami konteks dalam pembangunan kluster dan pengembangan inkubator, danai kewirausahaan berbasis keketatan pasar, dan di atas semua itu, dekati pembangunan ekosistem kewirausahaan secara holistik (sistem organik) untuk menstimulasi pertumbuhan yang menyejahterakan masyarakat.
Pemerintah berinovasi sosial. Inovasi dan kewirausahaan bukan sekedar hal teknis, melainkan sosial!
Kembali pada pernyataan awal artikel ini, kerja sama Pemerintah, Bisnis, Akademisi, dan Komunitas itu mendesak dan penting; apa, mengapa, dan bagaimana caranya? Mulai dari mana? Seberapa penting melakukan pemetaan awal kinerja input, proses, dan output inovasi sebelum lebih lanjut memberikan deskripsi dan preskripsi?
Avanti Fontana, Facilitator & Coach Innovation
imed[at]avantifontana.com
Salam Inovasi & Selamat Berkolaborasi!
Serpong, 29 September 2011