Hari ini saya mengikuti sesi inovasi produk kain tenun dan produk-produk turunannya di Kupang Nusa Tenggara Timur. Salah satu fenomena yang muncul di permukaan adalah kurangnya kesadaran orang-orang muda dalam melestarikan budaya tenun ikat NTT. Hasil pengamatan seorang wirausaha mandiri Tenun Ikat NTT yang tinggal di Kota Kupang adalah bahwa semakin seseorang berpendidikan lanjut, semakin enggan seseorang untuk masuk ke dunia (usaha) Tenun Ikat. Lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan penenun adalah ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak putus sekolah. Usulan yang mengemuka antara lain perlunya pengenalan Budaya Tenun Ikat sejak dini di sekolah-sekolah dan di kegiatan-kegiatan komunitas, perlunya membangun sekolah-sekolah khusus untuk mendukung keberadaan usaha Tenun Ikat, mulai dari desain, menenun, mewanai, mencetak, hingga menyebarkannya kepada pengguna/pembeli/pasar. Model pengembangan dukungan usaha tenun ikat dapat dilakukan dengan model cluster, belajar dari apa yang terjadi di India.
Gerakan kreativitas, inovasi, dan wirausaha Tenun Ikat perlu digalakkan. Kerja sama bisnis, pemerintah, dan peneliti perlu ditingkatkan dalam rangka mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ramah budaya tenun ikat dan bisnis tenun ikat. Pengrajin-pengrajin muda tenun ikat dewasa ini perlu memperoleh pendampingan intensif agar siap merintis atau melanjutkan usaha-usaha tenun di NTT dengan pasar yang tidak saja lokal tetapi nasional dan internasional. Kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan cara mendesain kain tenun, menenun, mewarnai, mencetak dan lain sebagainya dapat segera dirancang untuk publik.
Sesi yang saya fasilitasi berlangsung hampir 180 menit yang mengulas latar belakang Tenun Ikat, makna inovasi tenun ikat, paradigma 4P dan SAVE, contoh-contoh produk tenun ikat, proses inovasi, output inovasi, contoh-contoh usaha diferensiasi dan pengembangan tenun ikat di India dan di Indonesia, dalam hal ini mengambil kasus NTT.