“Disrupsi,” merujuk pada teori disrupsi (lihat misalnya Christensen dkk., Harvard Business Review, December 2015) menggambarkan proses di mana perusahaan atau organisasi yang lebih kecil dengan lebih sedikit sumber daya dapat DENGAN SUKSES menghadapi perusahaan/organisasi petahana (incumbent) yang jelas-jelas sudah mapan. Petahana itu biasanya fokus pada memperbaiki barang/jasa untuk pelanggan yang paling mereka prioritaskan (dan biasanya paling menguntungkan). Petahana bahkan berlebihan memenuhi kebutuhan beberapa segmen pasar dan mengabaikan kebutuhan segmen pasar lainnya. Pendatang yang disruptif mulai dengan melayani segmen-segmen pasar yang terabaikan tersebut atau yang tidak diperhitungkan oleh petahana. Pendatang baru itu mampu berpijak dalam usahanya dengan menawarkan barang/jasa yang fungsional dan sering dengan harga yang lebih rendah. Sementara petahana mengejar keuntungan lebih tinggi di segmen-segmen pasar yang lebih menuntut, petahana tidak terlalu bersemangat melihat sekelilingnya. Petahana terlalu fokus pada segmen pasar yang menguntungkan tersebut. Sementara ada segmen pasar mainstream yang juga membutuhkan perhatian, tidak terlalu menjadi perhatian petahana. Pendatang baru kemudian membuat barang/jasa dengan fungsi dan fitur yang dibutuhkan segmen mainstream. Ketika pelanggan kebanyakan (mainstream customers) mulai mengadopsi tawaran pendatang baru tersebut dan dalam jumlah yang signifikan, saat itulah disrupsi terjadi.
Organisasi-organisasi kecil dan besar pada dasarnya bisa membangun kapabilitas inovasi disruptif. Ada cara-cara yang perlu dilakukan dalam tata kelola atau manajemen inovasi untuk membangun kapasitas inovasi disruptif dan memeliharanya.